BAPAK PENDIDIKAN DUNIA..
KI Hajar Dewantara
Bapak KI Hajar Dewantara di kenal dengan bapak pendidikan dunia lahir dari keluarga keraton Yogyakarta, mana asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat biasa dipanggil Soewardi
Selanjutnya,
dia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar.
Dia pernah bekerja untuk surat kabar Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Dia
tergolong salah seorang penulis yang andal pada masanya. Gaya tulisannya
bersifat komunikatif dengan gagasan-gagasan yang antikolonial.[6]
Dia juga
berperan aktif dalam berbagai organisasi baik nasional maupun internasional
yang bergerak di ranah pendidikan, seperti UNESCO.
Selain itu, beliau pernah menduduki posisi sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1950
Selain ulet
sebagai seorang wartawan muda, dia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO)
tahun 1908, dia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai
pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres
pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda
juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu
organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang
memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD).
Ketika DD mendirikan Indische
Partij, Soewardi juga ikut diajak.
Ketika
pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk
pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis pada 1913, timbul reaksi
kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Dia kemudian menulis
"Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua,
tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah
"Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een
Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli
1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda.
Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan
pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi
juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk
menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita
keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau
aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada
kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa
pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri
karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini.
Kalaupun benar dia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam
memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.
Akibat
tulisan ini dia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan
sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto
Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke
Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai".
Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun
Dalam
pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal
Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan
Hindia). Tahun 1913 dia mendirikan Indonesisch
Pers-bureau, "kantor berita Indonesia". Ini adalah penggunaan
formal pertama dari istilah "Indonesia", yang diciptakan tahun 1850
oleh ahli bahasa asal Inggeris George Windsor Earl dan
pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.
Di sinilah dia
kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu
pendidikan hingga memperoleh Europeesche
Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan
dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini
Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori,
serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan,
oleh keluarga Tagore.
Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri
Soewardi
kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian dia bergabung
dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya
untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang berencana untuk
didirikannya.Pada
3 Juli 1922, dia akhirnya mendirikan Perguruan
Nasional Taman Siswa di Yogyakarta.[9] Saat dia genap berusia 40 tahun menurut
hitungan penanggalan Jawa,
dia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Dia tidak lagi menggunakan
gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya dia dapat
bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam
sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan
Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di
tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini
masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di
sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Tanggal
17 Agustus 1946 ditetapkan sebagai Maha Guru pada Sekolah Polisi Republik
Indonesia bagian Tinggi di Mertoyudan Magelang, oleh P.J.M. Presiden Republik
Indonesia.
Pada
masa pemerintahan Presiden Indonesia yaitu Soekarno,
tepatnya di tahun 1945, Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri
Pendidikan Indonesia yang pertama. Lalu, pada tanggal 19
Desember 1956, dia juga mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada.[11]
Ki
Hadjar Dewantara juga diditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional atas
jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Selain itu,
tanggal 2 Mei yang merupakan hari kelahirannya, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional Ketetapan
hari tersebut disahkan dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
305 Tahun 1959 bersamaan dengan penetapannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.[13] Surat keputusan tersebut diterbitkan tanggal 28
November 1959.
Ki
Hadjar Dewantara meninggal dunia di Kota
Yogyakarta pada 26 April 1959. Lokasi wafatnya di Padepokan Ki
Hadjar Dewantara. Jenazahnya kemudian disimpan di Pendapa Agung Taman Siswa
untuk kemudian dimakamkan di Taman Wijaya Brata pada tanggal 29 April
1959. Upacara pemakamannya dipimpin oleh Soeharto yang
bertindak sebagai inspektur upacara.
https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara#Als_ik_een_Nederlander_was
Comments
Post a Comment